Telapak
tanganku sedikit terbuka. Dan sinar-sinar pagi mulai menerangi garis-garis
kusam yang terlentang tak berdaya di telapak tangan sebesar buah mangga ini.
Awan yang menghilang dan cahaya terang yang sirna jelas tak seperti suasana
diriku sekarang. Sebenarnya rasa senang dan riang jelas terasa hangat dalam
sepanjang aliran arahku. Bagaimanna tidak, yang ada di pelupuk mataku sekarang
hanyalah kerinduan. Kerinduan akan surga masa kecilku yang luntur. Ya, rumahku,
lebih tepatnya rumah masa laluku, rumah tua bersaka kayu dan berlantai putih
kini di depanku. Haru dari beberapa meter teras yang kumuhpun sangat kurasakan.
Tak lama kemudian, pandanganku pecah dan yang ada hanyalah kebencian, kebencian
yang dalam dan beralasan tentunya. Tangan ini terasa sakit dan yang batinku
serasa menghitam. Kayu atap yang agak miring beberapa belas derajat dan
ditumbuhi lumut hijau terlihat kontras dengan tembok kuning yang berlubang.
Bukan
itu, atau jendela tanpa kaca dengan serangga kecil yang tak berdosa yang
membuatku remuk. Jendela dan tembok yang hangus serta pecahan kaca yang
berserakan tak berguna memperjelas pandanganku ke dalam, ke dalam ruang yang
terlihat dan jelas tidak diragukan lagi adalah ruang tamu dan mungkin bisa
dikatakan bekas ruang tamu karena yang ada hanyalah kursi terbalik yang
memuntahkan isinya dengan berbalut usia senja dan duka lara yang tampaknya
bertahun-tahun ia simpan.
Kursi-kursi
itu seakan-akan berteriak masih layakkah aku menangis. Dan batinku semakin
berantakan akan teriakan kursi itu. Tetes demi tetes air mata tak kuasa
kutahan, dan telapak tangan ini terasa semakin sakit. Sakit yang semakin
menjadi-jadi kala hidungku mencium sesuatu yang aneh.
“Darah
. . .. .”
Sejenak
deetak jantugku berhenti. Sementara bau itu semakin tajam, tanganku gemetar
lagi, dan rasa sakit luar biasa tiba-tiba menggertakku. Ruangan menjadi
terombang-ambing di mataku dan lenyap, onggokan kursi dan figura tanpa
penghunipun berlarian dalam benakku seperti film berkelap-kelip, membutakanku
terhadap sekitarku.
Aku
berusia lima tahun, berlarian dan bernyanyi-nyanyi, hatiku diliputi rasa
senang. . . . .aku berusia dua belas tahun, duduk manis membisu dengan seragam
baru, hatiku diliputi rasa bangga. . . . .ayah sekarat kena peluru. . . . . .
adikku terbaring di rumah sakit penuh darah. . . . .dan detensi dipenuhi luka
penuh nanah. . . . .gadis berambut merah hitam yang semakin dekat kepadaku
sampai aku bisa melihat torehan garis di kornea matanya. . . .oh, TIDAK!!!,
kata suara dalam kepalaku, sementara kenangan akan gadis itu semakin dekat, kau
tak boleh mengingatnya, TIDAK!!!, kau tidak boleh, dia membuatmu seperti ini.
Rasa
sakit semakin menusuk tulangku dan samar-samr figura itu telah kembali
tersenyum manis dengan pelan di depanku. Tapi, apa yang terjadi, yang di mataku
sekarang bukan onggokan sampah kursi ataupun bukan bekas ceceran darah juga
kkain-kain lusuh muntahan. Silau, siang terasa cepat sekali dan sekarang
malampun datang menjelang. Kaca-kaca kini bersambungan kembali dan cat-cat yang
beberpa menit yang lalu memudar kini telah memuda.
“Semuanya
berlindung di kamar! Jangan sampai keluar kamar!” tersentak, siapa itu, hanya raga
dan jiwaku yang hinggap didini, tak ada yanglain, atau mungkin hanya ilusi, ah,
tak...
“Rifki!
Masuk sekarang!”
Penglihatanku
buyar. Sepotong kepala besar dihiasi mata biru bulat lebar yang menganga dan
hidung bengkok serta telinga yang kendur mirip telinga gajah mendadak berjalan
dengan kecepatan tinggi dalam benang-benang saraf motorikku. Kumis kotak mirip
komedian Jojon dan sebuah tahi lalat sangat hitam menghiasi parasnya dengan
dilengkapi rambut ikal serba berantakan serta wajah kotak itu memantapkan
keyakinanku bahwa lelaki setengah baya yang memilki kepala itu adalah . . .
“Kok
bengong? Gila kau? Masuk sekarang, Rifki!” ya, ayahku. Tepat.
“Ayah?”
Ayahku di depanku, sosok yang kurindukan, “dengarkan ayah! Kau berlindunglah
sekarang di kamar! Sekarang, Rif. Sebelum. . . ,” ayah sejenak menlen ludahya sendiri,
“sebelum warga desa menghampiri rumah kita!”
“Lalu
ayah?”
“Ini
darurat, sayang. Kau masih punya. . .. . .,” dan ayah mendekat, semakin dekat,
jelas terlihat guratan tanda usia senjanya di mataku, dan semakin dekat, sampai
aku bisa menghitung tetes demi tetes air mata di pipinya.
“Jangan
melihat ayah begitu Rifki. Ayah bukan Asna. Kau tak perlu gugup,” oh tidak. . .
“Rifki,
kau kebanggaan ayah, kau masih muda, Rifki. Kau punya cita-cita yang ayah
impikan, jangan seperti ayah, Rif. Negara yang semprawut ini membutuhkanmu,
Rif.” Ayah menghela nafas sejenak, “tapi berpeganglah pada agama. . . . . .”
“Kang
Abdul! Warga dan pak RT tidak jadi kesini, kang! Pak kades sudah bereskan
semua. . . . “
“Mustahil!
Kakang, kita harus pergi dari sini. Kalau tidak, kita akan mati konyol, kang?”
“Pergi,
Bu? Pergi kemana, Bu? Rafa tak mau. . . .”
Tangan
yang taddinya memegang erat pundakku sekarang lepas dan tubuhnya berbalik, ayah
berdiri dan akupun ikut berdiri. Ruang tamu yang tadinya sepi kini ramai. Ibu,
Om Kosim, dan Rafa, adikku yang berusia tiga tahun lebih muda dariku dan
sekarang duduk di kelas 6 SD, kini telah bergabung.
“Kosim,
maksudmu apa?” Wajah ayah menatap mantap dan dalam dengan penuh makna lelaki
berambut hitam cepak mirip tentara dan bertubuh jangkung yang tidak lain adalah
ayah Asna.
“Kang,
jangan pergi, ini kampung kita, ini kampung nenek moyang kita, kita dilahirkan
disini, kita dibesarkan disini, dan kitapun disini untuk menjaga nenek moyang
kita...,” tatapan mata om Kosim terlihat mantap dan penuh tenaga, mendengar itu
ayah hanya menunduk seakan memikirkan sesuau yang berat, tidak berkomentar,
tidak berkata apa-apa, tidak membuka mulut sedikitpun.
“Tapi
bang Kosim, kalu toh warga desa tidak begerak sekarang. Mereka bisa kapan saja
menggempur kita......,” sahut ibu dengan tatapan tajam seakan hendak menerkam
mangsa ke arah om Kosim, “mereka tak akan diam! Tak mungkin.....,” ayah
sekarang duduk, lebih pasrah, “kang?” Pndangan ibu sekarang menuju ke ayah
sekarang. “Mereka tidak sebodoh tidak sebodoh itu, kang. Mereka tidak mendukung
kita sama sekali, mereka menganggap kita pantas dimusnahkan, kang. . . .”
“Cukup,
Aisyah! Kau menghina kawanku! Dia tahu apa yang dia harus lakukan. Sudah cukup
sekarang, . . ,” om Kosim dengan cekatan berbalik menatap ibu, “kau hanya. . .
“
“Apa,
Bang? Hanya apa? Aku tak pernah menyalahkan suamiku. Dia bejuang dan. . . . . .
.”
Om
Kosim berbalik dengan cekatan lagi. “Dan kau tidak mendukungnya. Kau malah
mengumbar-ngumbar rahasia suamimu.” Om Kosim berbalik mentap ibu lagi namun
dengan sangat lamban, “iya, kan? Dasar. . . .”
“Enak
saja kau ngomong seperti itu! Lihat kau! Aku tak pernah melakukan perbuatan
sehina itu. .. dan,” wajah ibu kkini memerah padam, pun dengan om Kosim,
tatapan mereka penuh dengan kebencian,
seakan ada sesuatu yang sangat layak untuk diperhitungkan saat ini. “Dan kau!
Kau yang melakukan itu, kan?” Wajah ibu semakin endelik ke om Kosim, “jujur
saja kau! Tak usah bohong di depanku! Apa yang kau lakukan saat kang Abdul
pergi?” Wajah om Kosim terlihat aneh tanpa arti. “HAHA! Dasar pembual!”
Cukup,
Aisyah! Kau. . . .,” dan sekarang wajah om Kosim telah berisi darah kembali,
“kau hanya ingin menjatuhkanku! Aku dan kang Abdul berteman sejak kecil,”
gerakan berbalik-balik diperagakan kembali oleh om Kosim, “dan kau hadir baru.
. . . ,” kata-kata om Kosim tidak jelas dan aku melihat ekspresi kebingunganpun
menyelimuti wajah ibu.
“Baru
apa? Baru beberapa tahun lalu lalu mempeerkeruh persahabatanmu?” Rafa hanya
terdiam, begitupun dengan ayah, dan tak terduga ibupun kini sejenak teerdiam.
“Ha! ha! Ha,! “ senyum kecut menghiasi bibir ibu, “kau yang menghianati sendiri
sahabatmu, Kosim!”
Teriakan
ibubegitu jelas dan akupun mulai mendelikkan mata memandang semua ini
seolah-olah satu bagianpun aku tak mau ketinggalan.
“Dasar
wanita sialan!” PLAK! Seakan ada sesuatu yang menggerakan tubuhku, darah
seluruhnya mengalir, mengalir deenga cepat, bahkan sangat cepat. Tak hanya aku,
ayah dan Rafapun demikian. Ibu ditampar om Kosim. Oh Penguasa Jagad, apa, apa
yang terjadi disini, mengapa ini terjadi?
“Ibu.
. . . . .,” Rafapun menjerit melihat ibu yang tergeletak tak berdaya dengan
tangan yang memegangi pipinya yang kesakitan, dan belum sempat aku dan Rafa
menhampiri, “Rafa. . . . . Rifki. . . . .Sekarang masuk!!”
“Tapi,
Bu?” jawab aku dan Rafa bersama.
“Sekarang!
Masuk!”
Aku
rasa teriakan terakhir ibu yang mungkin berasal dari sisa tenaga ibu tak usah
aku dan Rafa ingkari. Dan akupun masauk bersama Rafa yang merintih-rintih
memegangi lenganku.
××××××
“
Hati-hati Asna!” matanya itu membuatku luluh tah berdaya. Rambut merah hitamnya
yang tertata dan paras mukanya yang elok dilengkapi dengan senyum manisnya yang
rupawan benar-benar membuatnya waw, sangat
cantik.
“Kak?
Kak Rifki? Asna masuk ke rumah ya?”
“Cantik
sekali kamu dek, waw, eh, iya, dek. Sampai ketemu lagi.” Asna
melambai dengan tersenyum nyengir dan akupun pergi dengan sejuta senyuman.
Dan,
apa yang terjadi. . .
“Api. . . . . .ibu. . . . . . .api, Bu. . . .
. . . ayah. . . . . .api. . . . .
tolong!!!!!” panik, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Api, di depanku, api
yang membara, menjilat-jilat dan membakar rumahku.
“Bu.
. . . .ayah. . . . .Rafa. . . . . . api. . . . .tolong. . . .KEBAKARAN!!!” Tapi
percuma, tidak ada siapa-siapa, oh, Tuhan. . . .
“Kebakaran.
. . . . . . . “
“Rifki!
Rifki!”
Aku
membuka mataku. Sekujur tubuhku dibanjiri keringat dingin, penutup tempat tidur
membelitku bagaikan baju pengekang, aku merasa seakan pengorek-api membara
ditempelkan ke seluruh badanku.
“Rifki!”
Ibu
berdiri di depanku, tampak luar biasa ketakutan. Ada sosok lain disitu, ya,
Rafa,. Aku mencengkeram kepalaku dalam tanganku, rasa sakit membuatku buta. . .
.. aku berguling dan muntah lewat tepi tempat tidurnku.
“Kak
Rifki sakit, Bu.” Kata Rafa ketakutan.
“Rifki!
Rifki!”
Aku
harus memberitahu ibu, sangat penting dia memberitahunya. . . . menghirup udara
banyak-banyak, aku memaksa diri dudu di tempat tidur agar tidak muntah lagi,
rassa sakit setengah membutakanku.
“Bu.
. . .Rumah kita,” sengalku, dadaku naik turun berat. “Rumah kita terbakar, Bu.”
“Apa?”
kata ibu tak mengerti.
“Rumah
kita, Bu. Rumah kita terbakar, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. . .”
“Aku
panggil ayah!” kata Rafa, dan aku mendengar langkah-langkah kaki Rafa berlarian
dari kamar.
“Kau
hanya bermimpi, nak!” kata ibu bingung.
“Tidak!”
teriakku gusar. Langkah kaki tiba-tiba terdengar kembali. Namun, sekarang
menuju ke dalam, dan yang datang Rafa dan ayah yang memakai baju tidur
kotak-kotak dengan kacamata miring diatas hidungnya yang mancung. “Awalnya, aku
hanya mimipi. . . .mimpi konyol, tapi tiba-tiba semuanya terlihat seperti
nyata!”
Tapi
tak seperti yang diharapkannya, semuanya hanya bergumam, tapi tidak peduli.
Rasa sakit di sekujur tubuhku sdikit mereda, meskipun aku masih berkeringat dan
gemetar hebat. Aku muntah lagi dan Rafa melompat mundur menghindar.
“Rifki,
kau tidak sehat,” kata ayah bergumam.
“Tidak,
aku baik-baik saja,” sedakku, mengusap mulut dengan piama, dan gemetar tak
terkendali.
“BAKAR
SEMUANYA!!!!!!!, MUSNAHKAN TERORIS DARI BANGSA KITA!!!!! MUSNAHKAN TERORIS DARI
DESA KITA!!!!!!! BAKARR!!!!!!”
Teriakkan-teriakkan
itu benar-benar memecah pagi yang mendung dan butir-butir awan yang menggumpal.
Tak ada angin, tak ada badai, tak ada hujan, dan tiba-tiba jantungku goyah,
bergetar sangat cepat. Secepat langkah ayah berlari ke depan.
“Rafa,
Rifki sekarang kalian pergi lewat pintu belakang. . . . Biar ibu dan ayah yang
menghadipi mereka,” ibu terlihat gusar dan di matanya jelas terlihat kecemasan.
“JANGAN
DENGARKAN DIA!!! SEKALI TERORIS TETAP TERORIS!!! PENGHIANAT NEGARA!!!
TERKUTUK!!! JAHANAM!!!”
Suara
itu, suara om Kosim, tidak, pasti bukan, mana mungkin.
“Raf,
Rif, ibu mohon kalian pergi sekarang, kalian kebanggaan ibu, kalian pasti akan
tahu jalan kemana kalian harus hidup. Kita memang sendiri disini. Tapi tidak
begitu, nak. Masih banyak jalan, kalian harus berjuang,” ibu mencium pipi aku
dan Rafa dan mukaku sangat basah, tangisan yang terisak itu membuatku dan Rafa
menangis, “sekarang, pergilah!”
“Tapi,
Bu?” Aku menyela.
“Kalian
tak perlu mengkhawatirkan ibu dan ayah. Ibu dan ayah akan baik-baik saja.”
“BAKAR
SEKARANG!!! TAK USAH BANYAK OMONG!!! BAKAR SEKARANG!!!
“
“
Pergilah, sayang. . . .”
Sekali
lagi ibu mencium pipiku dan Rafa, dan akupun pergi dengan membawa Rafa, tidak
membawa sesuatu apapun. Belum sempat aku memaksa kakiku keluar dari halaman
pagar rumah, bunyi keras seperti petasan meletup dari punggungku. Dan Rafa tiba-tiba terjatuh.
Gemetar, yang kusaksikan didepan mataku adalah kobaran api, kobaran api di pagi
yang kelabu seperti dalam mimpiku. Tidak, nadiku sejenak berhenti, urat-urat
sarafku tiba-tiba menegang. Dan tidak ada dalm pikiranku. Api, tak mungkin
kupadamkan dengan tetes air mataku, sekarang. Aku tak bergerak, dan tak bisa
bergerak sedikitpun.
“TIDAK!!!”
Ayah,
ibu, dimana? Dimana sekarang? Dan yang ada di sampingku, Rafa yang terbujur
kaku dengan bersimbah darah di bagian lengan dan pahanya. Pisau yang menancap
di lengan dan pahanya benar-benar
mencincang hatiku, yang beberapa milisekon sebelumnya telah hancur. Mata
yang mungil dan membuka dengan tatapan kosong memandang entah kemana. Ayah,
Ibu, Rafa.
“Oh.
. . . Tuhan. . . . . Adilkah semua ini?
Adilkah?”
“ITU
ANAKNYA! HABISI DIA! JANGAN KITA SISAKAN KETURUNAN TERORIS DI BUMI KITA
TERCINTA INI!”
Dan
aku harus pergi, aku harus memperjuangkan pesan ayah dan ibu, tidak hanya itu,
pesan yang diberikan kepada Rafa kini juga berada di pundakku, dan aku tak
boleh berdiam, aku tak boleh mayi konyol, aku tak boleh terus disini, aku harus
pergi.
Dan
kini yang berdiri dibelakangku adalah om Kosim, walau terpaut sekitar sepuluh
meter, tubuh jangkungnya jelas memantapkanku bahwa ia adalah om Kosim yang
membawa pisau dan obor api.
“Aku
harus lari. . . .Aku harus lari. . . .”
BUKKK!
Samar-samar aku mendapati bahwa tubuhku terkena sesuatu. Oh, Tuhan, inikah
ajalku untuk pergi, bersama orang-orang yang kucintai, dan air hujan tiba-tiba
turun. Ini saatnya aku akan menikmati hariku tidak sendiri seperti yang
kubayangkan sebelumnya. Tapi, tangan ini terus bergerak, walau peluh semakin
deras mengalir menunggu dicabutnya nywa oleh malaikat tapi darah ini terus
mengalir, nafasku masih ada, jantungku tidak berhenti. Mata kubuka, dan yang
ada bukanlah halaman pekarangan belakang rumah ataupun rumah sesorang yang
menolongku. Namun, yang ada adalah bekas ruang tamu dengan onggokan kursi yang
memuntahkan isinya, dan jendela tanpa kaca, serta bekas ruang tamu yang habis
terbakar lalu tertimpa hujan. Figuranyapun sekarang tak berpenghuni, dan aku yang
tampak dua tahun lebih tua dengan memakai celana abu-abu mengangkat tubuhku
untuk berdiri. Karena, ternyata aku
tidur dengan mimpi yang tak pernah sekali-kali kusebut sebagai mimpi.
Hari
sudah terik. Hujan yang tadi turun kini airnya telah sedikit menguap, dan
akupun harus pergi, dan sejenak kulihat figura tak berpenghuni dan bukan tidak
sesuatu yang kudapati, melainkan wajah ayah, ibu, dan Rafa yang tersenyum
kepadaku.
“Aku
merindukan kalian. Aku tidak akn mengecewakan kalian.”
Dan
bergegas aku berlari dengan mengusap air mataku yang kembali bercucuran. Namun,
yang kulihat sekarang membuatku lagi-lagi tak bergerak. Bukan ayah, bukan ibu,
bukan Rafa, ataupun om Kosim yang bajingan, tapi adalah putrinya yang setahun
lebih muda dariku, Asna.
Sejenak
mata ini tak berubah ketika aku dulu memandangnya, dia masih terlihat cantik.
Tapi, lebih dari itu, kebencianpun kini menyelubungi seluruh batinku. Di satu
sisi, aku tak bisa membencinya, namun di sisi lain ayahnyalah yang membuat aku
begini, selama beberapa bulan mengharap belas kasihan orang lain dan jika tidak
ada orang yang memungutku akupun tak tahu apa yang nanti akan terjadi padaku,
ayahnyalah yang membuatku benci kepadanya.
“Kak?
Kak Rifki? Benar Kak Rifki?” Dia memandangiku dengan tulus dan seakan
kebencianku hilang, matanya, rambutnya, parasnya, senyumannya.
“Kak
Rifki? Ini Asna, Kak? Kak Rifki ingat?”
“Entahlah.
. . ,” masa depan masih panjang, sayang. . . . . .